Pages

Powered by Blogger.
Get Adobe Flash player

Wednesday 9 March 2016

Makalah Bahan Bakar Minyak (BBM)

DAFTAR ISI

A. LATAR BELAKANG
B.  FAKTA MASALAH
C. PENYEBAB MASALAH INTERNAL
D. Masalah BBM yang Delematis
1. Opsi Delematis
o   Kesatu
o   Kedua
o   Ketiga
o   Keempat
o   Kelima
o   Keenam
o   Ketujuh
E. MASALAH DAN SOLUSI
E. PENUTUP
o   Kesimpulan

LATAR  BELAKANG
KASUS
Kenaikan Harga BBM
Saat ini, banyak sekali kegiatan manusia di muka bumi ini yang menggunakan energi dari Bahan Bakar Minyak (BBM). Bahkan hampir di setiap lini ada saja energi dari minyak yang digunakan. Sebut saja memasak, menggerakan mobil/motor, menggerakan mesin-mesin pabrik, menghidupkan listrik, mejalankan kapal, menerbangkan pesawat dan lain sebagainya.
Setelah terbuai selama puluhan tahun dengan melimpahnya sumberdaya minyak bumi, manusia mulai khawatir akan habis/hilangnya sumberdaya ini apabila dieksploitasi secara terus-menerus. Kekhawatiran ini dikarenakan manusia masih kesulitan menemukan sumber energi lain yang serupa manfaatnya maupun ekonomisnya dengan minyak bumi.
Di Indonesia, seruan pemerintah agar masyarakat menurunkan tingkat konsumsi energi BBM dengan segala cara, sepertinya kurang berhasil. Terbukti konsumsi BBM per tahunnya selalu meningkat. Padahal seruan ini sudah membawa-bawa berbagai macam alasan, diataranya adalah untuk mengurangi emisi/pencemaran udara, mengurangi efek global warming dan lain sebagainya, termasuk untuk menghemat subsidi BBM dari APBN yang terus meningkat.
Tapi upaya-upaya itu seperti tidak digubris oleh masyarakat kita. Lihat saja sekarang, berapa kali lipat jumlah sepeda motor dibandingkan 10 tahun yang lalu? berapa jumlah mobil dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu? Kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil yang dulu merupakan barang mewah, sekarang seperti jajanan pasar saja yang siapa saja bisa membeli termasuk masyarakat golongan ekonomi lemah. Kemudahan dalam pembelian dengan adanya perusahaan-perusahaan pembiayaan merupakan salah satu faktor utama. Di samping itu, regulasi pemerintah dalam membatasi jumlah kendaraan bermotor juga seperti datang terlambat.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor sudah barang tentu meningkatkan konsumsi Bahan Bakar Minyak. Padahal sebagian besar produk BBM di Indonesia yang beredar di pasaran (SPBU) adalah BBM bersubsidi. Apabila tidak dicarikan solusi, Negara pasti akan koleps karena devisit anggaran gara-gara APBN banyak dipakai untuk subsidi BBM, yang entah siapa yang minum. Sebenarnya, apabila anggaran subsidi BBM tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan lain, pasti akan lebih bermanfaat, asal tidak dikorupsi.
Fakta Masalah
Sudah bisa dipastikan, kenaikan BBM akan merugikan masyarakat. Pengguna BBM seperti pengendara motor dan mobil akan langsung merasakannya. Transportasi umum juga sudah pasti akan menaikkan ongkos jasanya, sehingga pengguna transportasi umum juga akan segera merasakan dampaknya. Lalu, para pengguna transportasi umum kemungkinan akan beralih ke sepeda motor untuk berhemat, sehingga kenaikan harga BBM pun akan membunuh transportasi umum. Semuanya akan kejepit.
Tapi tidak hanya sektor transportasi yang akan terkena dampaknya. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, disebutkan beberapa kategori pengguna BBM bersubsidi selain transportasi. Mereka adalah usaha perikanan yang terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2 hektar; usaha mikro; dan pelayanan umum seperti krematorium. Semua pengguna ini akan terkena dampak kenaikan harga BBM.
Logikanya mirip dengan dampak di sektor transportasi. Kita ambil contoh petani kecil tanaman pangan. Harga tanaman pangan para petani ini akan naik, karena ongkos produksi untuk memproduksi tanaman pangannya akan naik akibat kenaikan harga BBM. Artinya, para pembeli tanaman pangan para petani ini akan terkena dampaknya. Lalu, dengan lumayan banyaknya tanaman pangan impor, ada kemungkinan para pembeli tanaman pangan si petani akan beralih ke tanaman pangan impor. Akibatnya, kenaikan harga BBM pun akan membunuh usaha pertanian si petani kecil.
Kenaikan BBM memang cenderung akan menaikkan harga barang-barang lain atau inflasi. Para ahli pun sudah memprediksinya, meski dengan angka yang beragam. Pengamat ekonomi Aviliani, misalnya, menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan mengakibatkan tingkat inflasi nasional tahun ini menjadi 6,5%. “Apabila kenaikan BBM berkisar Rp1.500 sampai Rp2.000 kemungkinan inflasi akan bertambah sekitar 1 hingga 2 persen sehingga inflasi nasional akan naik menjadi sekitar 6,5%,” ungkap Aviliani seperti dikutip Antaranews.com (25/2).
Tahun 2012 ini pemerintah kembali dihadapkan pada kenaikan harga minyak dunia. Meskipun kenaikan tersebut dipicu oleh ketegangan politik sesaat di Timur Tengah, tidak ada seorang pun yang berani memprediksi sampai kapan berlangsung.
Banyak yang menyarankan bahwa tahun 2011 pemerintah seharusnya sudah menaikkan harga BBM, khususnya premium secara bertahap agar dampaknya tidak memberatkan. Namun, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi tersebut.
Sekarang pemerintah mencoba membatasi BBM mulai April 2012 dan menutup kenaikan harga BBM. Upaya sudah dilakukan, tetapi belum siap dan bahkan keteteran persiapannya, baik dari sisi infrastruktur maupun sosial-ekonomi. Dengan tekanan harga minyak dunia, kini pemerintah mulai berpikir realistis untuk menaikkan harga BBM. Sayang, pemerintah tidak bisa bertindak cepat karena tidak memiliki landasan hukum akibat lalai dalam UU APBN 2012 Pasal 7 Ayat 4 dan Ayat 6.
Kejadian 2005 dan 2008 terulang kembali, kenaikan harga BBM tidak bisa ditawar lagi. Dengan subsidi akan mencapai Rp 200 triliun jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah bermaksud menurunkan harga pada tingkat yang wajar. Caranya seperti yang diwacanakan di media. Pertama, melalui penetapan subsidi per liter sepanjang tahun atau kedua, penetapan (kenaikan) harga per liter satu kali dengan besaran tertentu.
Alternatif pertama berarti harga premium akan berubah sesuai dengan harga keekonomiannya (atau harga pasar). Kebijakan ini sangat membantu APBN memberikan kepastian anggaran subsidi dan akan diadministrasikan oleh Pertamina, seperti Pertamax. Bedanya untuk Premium masih akan diberlakukan sistem subsidi harga. Kebijakan ini ada kemungkinan bertentangan dengan UU Migas karena Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal yang menyebutkan pola penetapan harga BBM berdasarkan harga pasar. Alternatif ini jika lolos dari sisi hukum akan memberikan kepastian dari sisi APBN. Risikonya adalah apabila harga minyak dunia turun, pendapatan minyak turun, sementara subsidi BBM tetap alhasil APBN bisa tekor.
Alternatif kedua adalah kenaikan harga BBM. Sangat sederhana dan mudah, tetapi besarannya sulit ditentukan karena ketidakpastian harga minyak dunia. Belum lagi apabila dilakukan secara agresif, dampak sosial-ekonominya akan terasa berat.
PENYEBAB MASALAH INTERNAL
Yang pertama Harga minyak dunia melebihi angka USD.100, dan yang kedua asumsi harga minyak di APBN 2011 pada angka USD80 per barel, dan jika harga minyak mencapai USD100 per barel, dibutuhkan tambahan subsidi sebesar Rp64 triliun.

Tahun 2012, anggaran subsidi BBM Rp123 triliun dan listrik Rp45 triliun dengan asumsi harga minyak mentah dunia USD90, dan setiap kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar USD1 akan menambah beban subsidi BBM dan listrik sebesarRp3,2 triliun.
Setelah sempat sekian lama terkatung-katung tanpa adanya kejelasan, Pemerintah tampaknya benar-benar akan menaikkan harga BBM pada pertengahan tahun 2012 nanti. Pada Tahun 2011 yang lalu sebenarnya pemerintah telah membentuk sebuah tim kajian dari tiga perguruan tinggi yang diketuai oleh anggito abimanyu. Tim kajian ini bekerja bukanlah tanpa hasil karena sesungguhnya tim ini telah merumuskan beberapa rekomendasi yang digunakan dalam menganalisa kebijakan naiknya harga BBM pada tahun 2012 ini. Dan salah satu poin dalam rekomendasi itu adalah menganjurkan agar pemerintah baru mengimplementasikan naiknya harga BBM itu pada bulan April 2012 ini. Namun entah karena sebab apa, seluruh hasil kajian itu tak pernah dipakai hingga saat ini.
Pada akhir tahun 2011 pemerintah bukannya mengimplementasikan hasil kajian tersebut namun malah mengeluarkan wacana yang kurang masuk akal yaitu membatasi  konsumsi BBM dan melakukan konversi ke pemakaian gas. Hal ini Disebut kurang masuk akal karena kebijakan membatasi konsumsi BBM sesungguhnya tidak efektif tatkala diterapkan. Kita seringkali melihat himbauan terkait pembatasan pemakaian BBM bersubsidi di  beberapa pom bensin, namun sampai saat ini himbauan itu masih dianggap sebagai angin lalu oleh masyarakat. Hanya beberapa orang di kalangan atas yang memang mematuhinya walaupun seringkali orang itu melakukannya karena gengsi semata yang disebabkan oleh dia memiliki mobil mewah sehingga harus membeli bensin yang juga tidak standar yaitu pertamax. Adalagi wacana pemerintah untuk membatasi  pemakaian bensin subsidi, yaitu dengan melakukan program konversi ke gas. Namun seperti yang kita tahu, infrastruktur di Indonesia sendiri sangat belum mendukung untuk dilakukannya program konversi gas itu,selain karena membutuhkan dana besar untuk melaksanakan program konversi untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar gas, juga diperlukan proses panjang dan waktu yang cukup lama untuk mampu membiasakan masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan BBM bersubsidi.belum lagi ditambah juga biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk memasang alat di kendaraan mereka untuk mampu menggunakan bahan bakar gas. Sehingga sangat terlihat bahwa program ini sebenarnya berjalan dengan sangat dipaksakan dan belum menjadi solusi optimal dalam menyelesaikan permasalahan BBM di Indonesia. Setelah kritik bertubi-tubi berdatangan kepada pemerintah, akhirnya pemerintah pun mengeliminasi kebijakan tersebut.
Pro kontra kenaikan harga BBM ini sebetulnya sudah dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat. Mereka paham atas dua situasi yang dialami Indonesia: cadangan minyak yang menipis (sehingga kita telah lama menjadi importir) dan harga minyak internasional yang merosot. Mayoritas rakyat juga paham bahwa subsidi minyak sebagian besar secara langsung dinikmati oleh golongan berpendapatan menengah atas. Bahkan, jika dibandingkan dengan masa lalu, sekarang terdapat fenomena yang jarang ditemui: parlemen/DPR mendorong agar pemerintah menaikkan harga BBM. Ini jelas hal yang menarik, sebab sejak dulu parlemen paling kritis terhadap rencana kenaikan harga BBM.
Memang sampai kini masih ada beberapa anggota parlemen/partai politik yang menolak rencana tersebut, tapi jumlahnya tidak banyak sehingga hampir pasti kebijakan kenaikan BBM disetujui oleh DPR/MPR .karena seperti yang kita ketahui, para anggota dewan kita termasuk kalangan yang memang mengagungkan kenyamanan mereka sendiri tanpa memperdulikan kondisi yang berkembang di masyarakat
Realita lain yang perlu kita cermati sebagai bahan pemikiran sebelum menaikkan harga BBM di masyarakat adalah masih sangat buruknya infrastruktur dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Di luar Jawa sangat sering ditemui sarana jalan dalam kondisi rusak berat sehingga mengganggu pergerakan kegiatan ekonomi, termasuk distribusi komoditas pangan.
Kita pasti pernah mendengar bahwa salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah demi menyelamatkan fiskal. Salah satu argument yang berkembang di masyarakat adalah tidak mungkin pemerintah terus-terusan menanggung subsidi minyak yang setiap tahun mencapai 200 triliun padahal minyak bersubsidi itu hanya dinikmati golongan masyarakat menengah keatas.
Menteri ESDM Jero Wacik pernah mengungkapkan pemerintah telah mengajukan dua opsi, yakni kenaikan Rp1.500 per liter dan subsidi ditetapkan sebesar Rp2.000 per liter dan pembatasan BBM. Meskipun pemerintah lebih condong pada kenaikan BBM, fungsipembatasan akan tetap berlaku dan berjalan. Kalau rencana pemerintah ini disetujui DPR dengan pengesahan APBN-P 2012, pemerintah juga berjanji akan memberikan kompensasi kepada masyarakat. Kompensasi ini dalam berbagai bentuk seperti lebih sering membagikan BLT, beras miskin, beasiswa, serta kompensasi transportasi berupa pemberian voucher gratis angkot atau bis sekolah. Pertanyaannya saat ini adalah bagaimana proses monitoring yang akan dilakukan pemerintah sendiri terkait kebijakan kompensasi yang akan diberlakukan apabila kenaikan harga BBM ini telah disetujui DPR? Karena sampai saat ini masih dapat kita lihat bahwa banyak kebijakan pemerintah seperti BLT ini yang belum benar-benar bisa optimal dan bermanfaat untuk masyarakat banyak.
Kita sering melihat data statistik di televisi ataupun media cetak yang menunjukkan fakta mencengangkan bahwa 40 % Belanja APBN habis digunakan untuk belanja pegawai. Pertumbuhan untuk pos belanja pegawai itu sesungguhnya sangatlah fantastis, yaitu menembus 22,5 persen setiap tahunnya. Padahal pertumbuhan total belanja negara hanya sekitar 13% tiap tahunnya. Intinya sebenarnya sebagian besar anggaran kita habis untuk biaya birokrasi, bukan pembangunan ataupun pelayanan masyarakat. Padahal pelayanan publik di lembaga pemerintahan Indonesia masih belum bisa dibilang baik. Kita masih sering mendengar buruknya wajah pelayanan publik di negeri ini, mulai dari waktu pelayanan yang lama hingga bentuk pelayanan yang masih dipandang tidak sesuai seperti yang seharusnya diterima oleh masyarakat.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa sampai saat ini kebocoran anggaran pemerintah belumlah bisa disiasati dengan maksimal karena tingkat korupsi atau penyalahgunaan uang negara masihlah bisa dibilang sangat tinggi. Jadi realita yang berkembang saat ini di masyarakat sungguh sangat memprihatinkan. Di satu sisi masyarakat sebenarnya paham akan kemungkinan naiknya harga BBM karena melihat beban APBN pemerintah akibat adanya subsidi yang sangat tinggi. Namun disisi lain masyarakat terang-terangan menunjukkan kekecewaannya terhadap pengelolaan uang negara oleh pemerintah dikarenakan sangat tingginya tingkat korupsi di berbagai instansi daerah.
Pemerintah tampaknya juga sangat menyadari akan realitas sosial yang terjadi di masyarakat itu. Namun tampaknya tidak banyak pilihan yang bisa diambil pemerintah terkait kebijakan yang akan mereka lakukan mengenai Bahan Bakar Minyak itu untuk ke depannya. Yang perlu kita sadari adalah kita sendiri tidak akan bisa mengambil keputusan yang bisa menyenangkan banyak pihak. Selalu ada pihak yang akan merasa kurang sepakat dengan keputusan yang kita ambil. Begit juga dengan keputusan pemerintah. Pasti ada beberapa pihak eksternal maupun internal yang tidak sepakat dengan keputusan yang pemerintah ambil. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mampu mensiasati banyak permasalahan yang bergejolak di tengah masyarakat saja serta bagaimana pemerintah mampu mengatasi permasalahan ini dengan lebih arif dan bijaksana serta menempatkan masyarakat sebagai prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam pengambilan setiap keputusannya saja.
Masalah BBM Yang Dilematis
Opsi Delematis
Berita utama (headline news) pada berbagai media masa akhir-akhir ini masih berkisar pada rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Memang, Pasal 14ayat 2 dari UU APBN-P 2008 telah memberi keluwesan bertindak pemerintah untuk mengambil langkah ini tanpa lagi harus melalui proses pembahasan APBN-P yang kesekian kalinya, mengingat harga minyak dunia yang sangat fluktuatif. Di lain pihak, Pasal ini juga memberi catatan bahwa andai kata keputusannya adalah menaikkan harga BBM maka jalan yang ditempuh ini harus menjadi opsi terakhir setelah berbagai opsi alternatif dipertimbangkan secara tuntas. Beberapa opsi alternatif atau yang komplementer atas kenaikan harga BBM yang dikemukakan (dan seberapa jauh alternatif tersebut realistis atau tidak) antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama,
Menaikkan produksi minyak bumi Indonesia. Alternatif ini tidak realistis karena produksi minyak bumi Indonesia, sebagaimana halnya pada sebagian besar negara produsen minyak bumi saat ini, telah melewati tingkat puncaknya sehingga cenderung untuk terus menurun. Jumlah produksi yang pada APBN 2008 dipatok sebesar 1,034 juta barrel/hari bahkan harus direvisi ke bawah menjadi hanya 927 ribu barrel/hari pada APBN-P 2008.
Kedua,
Sebagai anggota OPEC meminta organisasi ini untuk mengupayakan penurunan harga minyak dunia. Walaupun Indonesia dapat menghimbau sebagai suatu sikap moral suasion, dari sudut kekuatan ekonomi Indonesia mempunyai pangsa suara yang kecil dan bahkan ada kemungkinan untuk keluar dari lembaga ini.
Ketiga,
Mensubstitusi penggunaan minyak tanah rumah tangga dengan gas tabung. Opsi ini juga tidak akan banyak membantu APBN karena langkah ini lebih banyak tertuju pada peralihan pola penggunaan energi masyakat daripada sebagai suatu jalan keluar atas terjadinya ketidakseimbangan keuangan negara.
Keempat,
Mencari dana pinjaman negara donor untuk membiayai pengeluaran subsisi BBM dan subsidi listrik yang membengkak. Opsi ini juga kurang realistis, karena para donor, terutama dari kalangan donor kelompok Bank Dunia dan ADB, cenderung tidak bersedia memberi pinjaman dengan syarat lunak apabila akan digunakan untuk membiayai subsidi APBN.
Kelima,
Meminta Bank Indonesia untuk membiayai defisit APBN (seigniorage). Opsi ini juga sulit dilaksanakan karena kebijakan ini akan meningkatkan “ekspektasi inflasi” yang tinggi pada masyarakat yang akan menimbulkan perilaku masyarakat yang lebih cenderung memegang barang daripada uang sehingga secara nyata akan mewujudkan tingkat inflasi yang tinggi. Dalam
proses kebijakan publik, hal ini juga akan tidak mudah dilaksanakan pada keadaan status Gubernur Bank Indonesia tidak lagi, bersama-sama dengan Menteri Keuangan, menjadi bagian dari suatu Dewan Moneter.
Keenam,
Meningkatkan penerimaan negara dari hasil minyak dengan meningkatkan pangsa hasil penjualan minyak dalam kontrak bagi hasil dengan para perusahaan minyak. Hal ini dapat dilakukan melalui kemungkinan menurunkan unsur “cost recovery” yang merupakan faktor pengurang atas hasil penjualan bruto untuk sampai pada hasil penjualan neto (lihat Diagram I). Opsi ini, walaupun lebih mungkin daripada berbagai opsi sebelumnya, akan sulit dicapai dalam jangka pendek mengingat akan memerlukan terjadinya perubahan institusional, misalnya perlunya lagi dibentuk dewan komisaris untuk mengawasi jalannya “good corporate governance” perusahaan negara maupun perusahaan minyak bagi hasil asing di bidang minyak. 
Ketujuh,
Lebih menurunkan lagi alokasi APBN untuk lembaga pemerintah. Opsi ini telah ditempuh sehingga penurunan lebih lanjut dapat menganggu jalannya roda pemerintahan.
 
 Masalah dan solusinya
TERLALU banyak masalah melanda negeri ini, seperti benang kusut, entah dari mana harus ditarik solusinya. Bila dikibaskan koran pagi di depan wajah Anda, tampak headline berita yang seringnya, membuat hati ini kecut. Nyalakan televisi, muncul wajah-wajah koruptor yang terus mengarang alibi membela diri. Diselingi berita tentang sekolah rubuh, buruh yang hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak dan bayi yang kurang gizi, pelecehan terhadap perempuan di ruang publik, dan seterusnya. Bad news is a good news, benar-benar tersaji setiap hari di Indonesia.

Salah satu isu yang sedang hangat-hangatnya, adalah isu kenaikan harga BBM. Perspektif umum saya, BBM memang sudah semestinya naik, karena harga minyak dunia memang sedang naik. Saya tidak paham bagaimana perhitungannya, tetapi analisis dangkalnya, bila BBM tidak dinaikkan, untuk menutupi anggaran pembangunan, larinya ke hutang luar negeri.

Tetapi, hati kecil tentu saja berkata, BBM jangan sampai naik. Bila BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok pasti akan naik. Tarif angkutan umum, naik. Begitu pula, tarif dasar listrik. Tentu daya beli masyarakat akan turun, berujung pada inflasi yang diperkirakan akan mencapai enam persen. Empat sampai lima juta warga terancam miskin.
Untuk meredam gejolak sosial pascakenaikan harga BBM April medatang, pemerintah kembali mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dari semula Rp100 ribu, menjadi Rp150 ribu. Menurut Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri, cara ini adalah efektif untuk meredam gejolak sosial pascakenaikan harga BBM. Katanya, tidak ada cara lain dan yang paling efektif hanyalah uang.

Tidaklah mudah memang, membuat kebijakan untuk sekira 250 juta orang yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi, kebijakan untuk menanggulangi kenaikan BBM harus segera diambil. Hingga muncul pertanyaan, akan tepatkah kebijakan yang diambil? Atau justru makin bertambah masyarakat miskin secara jumlah? Indonesia sangat jauh dalam mencapai konsepsi welfare state.

Ambil contoh, kebijakan BLT yang sudah saya singgung sedikit di atas. BLT sangat tidak mencerdaskan masyarakat. Meskipun, bagi masyarakat toh bukan itu masalah pokoknya. Masalahnya bagi masyarakat, BLT yang hanya Rp150 ribu, tidak akan membantu menutupi kebutuhan sehari-sehari.

Kemudian, yang tidak kalah krusial, adalah pendistribusian. BLT untuk warga miskin. Standar miskin apa yang dipakai? Siapa yang bisa dikatakan miskin? Apakah kita bicara tentang kemiskinan absolut atau relatif? Banyak masyarakat yang kualitas hidupnya masih jauh dari baik, tapi belum bisa dikatakan miskin karena kategori tertentu.
Mengapa BLT saya anggap tidak mencerdaskan? Karena masyarakat jadi diinternalisasikan untuk mendapat solusi yang instan pascakenaikan harga BBM. Masyarakat tidak dirangsang untuk mandiri secara ekonomi. Usaha-usaha domestik jika berkembang akan menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan produk yang inovatif, dan tentu saja akan mendongkrak perekonomian nasional.
Masyarakat hanya diberi uang tunai untuk mencukupi kebutuhan (itu juga sebenarnya tidak cukup). Jangankan untuk mengembangkan usaha, yang terpikir adalah bagaimana harus makan hari ini. Seharusnya program pemerintah harus memacu masyarakat untuk kreatif menghidupi dirinya sendiri.
Menyikapi isu kenaikan BBM seperti dalam situasi serba salah. BBM harus naik dan kebijakan pascakenaikan harus seiring dijalankan untuk meredam gejolak sosial yang pasti terjadi. Pertanyaan setiap orang sama, akankah kebijakan ini akan sedikit demi sedikit membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera? Secara teori, untuk memetakan aspirasi menjadi sebuah kebijakan, butuh proses.  
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai warga Negara Indonesia terutama kaum pemuda-pemudi sebagai generasi penerus bangsa, seharusnya kita bangga dengan Negara Indonesia karena maju atau tidaknya Indonesia ada ditangan kita. Kita sebagai ujung tombak negara diharuskan untuk menjadikan negara yang lebih baik dimasa yang akan datang. Indonesia tidaklah seburuk yang dibayangkan, banyak sekali hal-hal yang harus dibanggakan oleh Negara ini. Walaupun masih banyak kekurangan dari Negara ini, kita tidak seharusnya menjelek-jelekkannya tapi kita bahu-membahu memperbaiki Negara ini.
READ MORE